Rabu, 24 April 2013

TRANSFORMASI MODEL KEPEMIMPINAN PADA TUBUH PUTM DALAM DUA MASA KEPEMIMPINAN TERAKHIR


Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) adalah salah satu sekolah kader milik Muhammadiyah setingkat perguruan tinggi yang bercita-cita mencetak calon-calon ulama muda yang berjuang demi tegaknya agama Islam. Sesuai dengan tujuannya itu, setting pendidikan yang ditawarkan oleh PUTM sudah semestinya menerapkan model-model kepesantrenan, satu model pendidikan yang memang khusus diciptakan untuk mencapai tujuang yang telah disebUtkan di atas.
Lebih dari itu, agar tujuan tersebut dapat tercapai dibutuhkan seorang pengarah dan penunjuk yang kompeten dan kapabel dengan tujuan tersebut. Dalam pandangan penulis –yang juga merupakan salah satu thalabah (sebutan untuk seorang murid) di PUTM- sosok-sosok kepemimpinan dalam tubuh PUTM itu sendiri sepanjang sejarahnya telah memenuhi syarat tersebut.
Dalam tulisan singkat ini, penulis akan mencoba memaparkan model kepemimpinan dalam tubuh PUTM tersebut pada dua masa kepemimpinan terakhir.
Penulis menjadi thalabah PUTM pada masa kepemimpinan Ust. Prof. Drs. Sa’ad Abdul Wahid, seorang kiai kharismatik yang berasal dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan kepemimpinan sebelumnya dipegang oleh Ust. Drs. Suprapto Ibnu Juraimi, juga seorang kiai yang sangat disegani bahkan dikalangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada masa kepemimpinan Ust. Ibnu –sebutan untuk ust. Suprapto Ibnu Juarimi- menurut cerita yang penulis dapatkan dari kakak kelas dan alumni, kepemimpinan belia termasuk model kepemimpinan Otokratik-Kharismatik. Segala urusan yang berkaitan dengan PUTM berada dibawah kendali dan kehendak dari beliau. Mulai dari kurikulum, jadwal kuliah sampai peraturan-peraturan harian pun beliau yang menentukan. Bahkan terkesan, beliaulah Sang Pemilik PUTM yang mengidentikkan tujuan PUTM kedalam tujuan pribadi.
Sekilas sifat-sifat tersebut adalah sifat yang buruk dan akan membawa kemunduran bagi lembaga yang bersangkutan. Namun tidak demikian, sebaliknya, menurut penulis, dibawah kepemimpinannya, PUTM memasuki masa-masa emas. Lulusan-lulusannya telah terbukti dan teruji sukses sesuai dengan tujuan PUTM di atas. Banyak dari mereka yang setelah kembali dari masa pendidikannya itu kemudian mendirikan pondok pesantren di daerahnya masing-masing dan mereka menjadi ujung tombak pimpinan Muhammadiyah di tiap daerah.
Faktor utama penyebabnya itu sederhana, yaitu bahwa tujuan pribadi dari Ust. Ibnu tersebut bukanlah tujuan yang jelek, namun tujuan yang mulia yang keluar dari jiwa seorang yang begitu ikhlas dan gigih sesuai dengan tujuan lembaga. Sifat otokratik dan kharismatiknya membuat beliau ditakuti sekaligus disegani oleh seluruh kalangan, terlebih oleh para thalabahnya sehingga pelanggaran dan penyelewengan sangat minim terjadi, mereka pun menjadi orang-orang yang tangguh, tahan banting dan kekeh terhadap tujuan lembaga.
Namun memang dalam setiap model kepemimpinan di manapun itu ada saja lubang yang tercipta. Beberapa kekurangan dalam kepemimpinan beliau antara lain:
1.    Model kepemimpinan yang semacam itu menciptakan iklim ketergantungan yang sangat besar terhadap pemimpinnya. Sehingga jika masa kepemimpinannya itu berakhir maka akan berakhir pula masa keemasannya.
2.      Banyak kalangan mengatakan beliau sangat sulit dikritik sehingga ide-ide baru yang fresh dan cemerlang tidak dapat terakomodir dengan baik.
3.        Dari sisi administrasi masih belum tersistem dengan baik.
Terbukti setelah kepemimpinan beliau berakhir –ditandai dengan wafatnya beliau- PUTM mengalami goncangan yang tidak kecil. Kehilangan sosok pemimpin yang sedemikian kharismatik membuat PUTM seakan-akan kehilangan runya.
Namun PUTM ternyata bukanlah milik pribadi, masih banyak orang-orang dibelakang layar yang tidak kalah hebatnya –yang dalam masa kepemimpinan Ust. Ibnu agak “tertutupi”- yang mereka sangat berperan terhadap masa-masa sulit PUTM ini dan berusaha keras mencari sosok pengganti yang sesuai. Akhirnya terpilihlah Ust. Sa’ad –panggilan untuk Ust. Sa’ad Abdul Wahid- sebagai Mudir PUTM yang baru menggantikan Ust. Ibnu. Layar telah terkembang dan kapal akan segera berlayar menuju PUTM yang baru.
Masa kepemimpinan Ust. Sa’ad menurut pandangan penulis termasuk model kepemimpinan Demokratik-Kharismatik. Ke-kiai-an beliau tidak kalah hebat dari ust. Ibnu karena beliau memang salah satu sesepuh dalam lingkup Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sangat disegani.
Kepemimpinan beliau membawa gaya yang lebih terbuka, fleksibel dan terstruktur. Hal tersebut tidak lain karena pengalaman beliau sebagai seorang akademisi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga di universutas-universitas lain di Yogyakarta semisal UAD (Uiversitas Ahmad Dahlan) yang beliau menjadi Guru Besar di sana, dan yang lainnya.
Dibawah kepemimpinan beliau, ide-ide yang cemerlang dari beberapa kalangan diterima dengan baik dan dipertimbangkan secara matang untuk tujuan kebaikan PUTM kedepannya. Model kepemimpinannya yang non-otokratik membuat orang-orang yang bekerja disekitarnya bebas untuk bermanufer dan mengekspresikan kemampuan mereka untuk PUTM meski tetap dalam koridor tujuan PUTM yang sejak dahulu tak pernah berganti.
Dari sisi administrasi juga mengalami perkembangan pesat. Dimulai dengan pembagian tugas yang merata dan sesuai bidang masing-masing dalam struktur kepemimpinan PUTM, seperti penunjukan Kepala Tata Usaha, Urusan Rumah Tangga, Urusan Akademik dan Urusan Kethalabahan yang dibebankan kepada orang-orang yang berkompeten.
Namun, sebagaimana kepemimpinan sebelumnya, ternyata keemimpinan beliau pun ada kekurangannya. Kekurangan tersebut antara lain:
1.      Model kepemimpinan yang seperti itu akan memunculkan banyak kepentingan yang sama kuatnya sehingga orientasi pendidikan di PUTM sedikit mengalami pergeseran dari tujuan awalnya. Berbeda dengan model kepemimpinan sebelumnya yang dominan pada satu sumber kepentingan.
2.        Masuknya beberapa mata kuliah yang sedikit menjauh dari orientasi PUTM itu sendiri.
3.   Beberapa porsi mata kuliah pokok yang berkurang akibat masuknya mata kuliah baru tersebut.
Demikianlah pemaparan singkat mengenai dua masa kepemimpinan dalam sejarah PUTM. Tulisan ini adalah cerita sejarah semata dan sumbernya pun berasal dari sebatas pengetahuan penulis saja sehingga penulis memohon maaf apabila ada isi dari tulisan ini yang tidak sesuai dengan fakta. Sedangkan bagi yang menganggapnya sebagai sebuah refleksi dan atau sebagainya dipersilahkan dengan segala hormat. Karena setiap persepsi mengenai tulisan ini dikembalikan kepada masing-masing pembaca.
Wallahu a’lam bisshawab.

Jumat, 19 April 2013

TRANSFORMASI EKSTRIM SEORANG SANTRI MENJADI THALABAH


Dua istilah, santri dan thalabah pada dasarnya merupakan dua lafal yang memiliki kemiripan makna: seorang anak yang belajar agama di pesantren di Indonesia. Kurang lebih demikian. Namun bagi penulis, dua lafal tersebut memiliki perbedaan dilihat dari sisi penerapannya. Santri adalah istilah bagi murid yang belajar di pesantren tingkat madrasah, sedangkan thalabah setingkat dengan mahasiswa. Itu menurut pengalaman penulis. Namun lebih dari sekedar pembahasan istilah, dalam tulisan ini penulis akan mengisahkan transformasi dirinya dari seorang santri menjadi seorang thalabah beserta seluruh dinamikanya, tujuannya sederhana, untuk kaca diri dan juga berbagi pengalaman kepada orang lain. Semoga bermanfaat.
Dimulai dari hari ahad
Tak pernah terbayangkan dalam benakku (penulis) ketika duduk dibangku sekolah dasar negeri untuk berangkat sekolah di hari minggu. Harinya anak-anak bermain dan nongkrong di depan TV dari pagi sampai siang. Tapi itulah awal mula transformasi ekstrim dalam hidupku. Berawal dari keterpaksaan, namun berakhir dengan penyesalan. Menyesal mengapa tidak dari tingkat dasar saja bapak nyekolahin aku di pesantren. Karena belakangan aku menyadari, ilmu yang didapatkan disana jauh lebih bermakna dibandingkan sekolahku dahulu.
Nyantri di pesantren tidak membuat aku jauh dari orang tua karena dipesantren aku ada istilah mondok dan jolok. Apa itu? Mondok bagi teman-teman yang bersedia 24 jam nongkrong di pesantren. Jolok bagi teman-teman yang hanya pagi sampai siang saja nyantri, sore sampai paginya lagi tetep jadi “anak mamih”, makannya aku sebut diriku santri setengah mateng. Singkat cerita, 6 tahun nyantri, aku dapat ilmunya namun kehidupanku masih seperti biasa.
Tetep berangkat ahad tapi pindah lokasi
Masuk ke jenjang mahasiswa, aku bimbang, ada dua opsi yang aku pilih waktu itu, mau ambil jurusan komputer yang artinya lepas dari dunia pesantren, atau lanjut belajar agama. Akhirnya ku ikuti tes masuk kedua-duanya dan lulus semua. Tambah bingung lagi. Namun setelah konsultasi dengan orang tua, mereka lebih merestuiku meneruskan di pesantren mahasiswa. Dari situ ku memantapkan diri melangkah ke Yogyakarta.
Dalam benakku, sudah dapat dibayangkan, karena kata orang mahasiswa itu hidupnya ya seperti itu. Mahasiswa tapi santri, santri tapi mahasiswa. Lebih “membahagiakan” dari pada di pesantren dulu.
Namun semua sketsa kehidupan yang ada di benakku mendadak hilang ketika pertama kali menginjakkan kaki menjadi seorang thalabah di tempat itu. Berubah menjadi ketakutan yang hebat. Bagaimana tidak, jika boleh digambarkan, segala aspek yang ada di sana seakan mendukung kesan angker bagi setiap anak manusia: Tempatnya ada di lereng gunung, dingin, hutan, sepi, seperti padepokan-padepokan yang ada di film-film kolosal di Indosiar, hanya dengan balutan gedung masa kini, tapi tetep saja angker.
Kemudian, segala peraturannya mirip dipenjara. Mau ini tidak boleh, mau itu tidak boleh. Kalau ini harus begini kalau itu harus begitu. Luar biasa ketatnya. Melanggar barang sedikit saja, habis. Namun itulah konsekuensi yang harus dihadapi seorang thalabah ditempat itu. Sebuah sekolah kader masa depan yang memang mengemban harapan besar dari banyak kalangan. Begitulah cerita kakak kelas dahulu.
Tapi unik. Trasformasi ekstrim jilid duaku ini. Menjadi seorang thalabah yang sedang disiapkan untuk satu tujuan besar. Menjadi seorang ulama. Hebat bukan. Satu gelar yang ku rasa begitu berat mengingat sosok para ulama asli dari zaman dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, banyak teman yang tidak sanggup melanjtkan studi di sana dan pergi untuk selamanya.
Terlebih lagi, cara penyampaian peraturan yang langsung, lugas dan tanpa reserfe membuat kami merasa begitu berat menerimanya. Tak peduli dari latar belakang manapun dengan alasan apapun, peraturan tetaplah peraturan yang wajib tanpa terkecuali dilaksanakan dengan baik dan benar.
Namun bagi diriku, seluruh kehidupan yang serba ketat di sana tidak dapat menggoyahkan tekat baja yang tertanam di hati. Berlandaskan niat ilahi dan dikuatkan dengan janji kepada orang tua itu sudah lebih dari cukup untuk membuat ku bertahan. Dalam benakku, tinggal jalani saja semua peraturan disini, lagi pula ga bakal bikin mati dan memang itu semua dibuat untuk kebaikan semua thalabah demi mencapai tujuan nyantri disini, ya jadi ulama.
Itu salah satu hal yang membuatku dapat bertahan di tempat itu, disamping beberapa faktor lain seperti dukungan dari teman-teman senasib sepenaggungan. Ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Juga faktor lain dari pesantren itu sendiri. Beberapa hari pertama ketika aku hidup di sana banyak kisah-kisah yang diceritakan turun-temurun yang memotifasi kita agar tetap bertahan.  Kemudian wejangan-wejangan dari para kiai di sana juga menghujam dalam kelubuk hati, sejenak dapat meringankan beban yang ada dipundak.
Kemudian, tanpa terasa waktu berjalan dan aku sudah terbiasa dengan segala dinamika yang terjadi di tempat itu, layaknya santri senior, jadi thalabah senior pun rasanya tak jauh berbeda, segalanya terasa lebih ringan dibandingkan pertama kali dahulu, persis seperti wejangan-wejangan yang disampaikan oleh para kiai di sana, bahwa segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan menjadi lebih ringan untuk dikerjakan.
Demikian sekelumit kisah hidupku, semoga bermanfaat, dan adakah yang bersedia mengalaminya? Lets follow me, come here and join with us. J
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.