Dua istilah, santri dan thalabah pada dasarnya merupakan dua lafal yang
memiliki kemiripan makna: seorang anak yang belajar agama di pesantren di
Indonesia. Kurang lebih demikian. Namun bagi penulis, dua lafal tersebut
memiliki perbedaan dilihat dari sisi penerapannya. Santri adalah istilah bagi
murid yang belajar di pesantren tingkat madrasah, sedangkan thalabah setingkat
dengan mahasiswa. Itu menurut pengalaman penulis. Namun lebih dari sekedar
pembahasan istilah, dalam tulisan ini penulis akan mengisahkan transformasi
dirinya dari seorang santri menjadi seorang thalabah beserta seluruh
dinamikanya, tujuannya sederhana, untuk kaca diri dan juga berbagi pengalaman
kepada orang lain. Semoga bermanfaat.
Dimulai dari hari ahad
Tak pernah terbayangkan dalam benakku (penulis) ketika duduk dibangku
sekolah dasar negeri untuk berangkat sekolah di hari minggu. Harinya anak-anak
bermain dan nongkrong di depan TV dari pagi sampai siang. Tapi itulah awal mula
transformasi ekstrim dalam hidupku. Berawal dari keterpaksaan, namun berakhir
dengan penyesalan. Menyesal mengapa tidak dari tingkat dasar saja bapak
nyekolahin aku di pesantren. Karena belakangan aku menyadari, ilmu yang
didapatkan disana jauh lebih bermakna dibandingkan sekolahku dahulu.
Nyantri di pesantren tidak membuat aku jauh dari orang tua karena
dipesantren aku ada istilah mondok dan jolok. Apa itu? Mondok bagi teman-teman
yang bersedia 24 jam nongkrong di pesantren. Jolok bagi teman-teman yang hanya
pagi sampai siang saja nyantri, sore sampai paginya lagi tetep jadi “anak
mamih”, makannya aku sebut diriku santri setengah mateng. Singkat cerita, 6
tahun nyantri, aku dapat ilmunya namun kehidupanku masih seperti biasa.
Tetep berangkat ahad tapi pindah lokasi
Masuk ke jenjang mahasiswa, aku bimbang, ada dua opsi yang aku pilih waktu
itu, mau ambil jurusan komputer yang artinya lepas dari dunia pesantren, atau
lanjut belajar agama. Akhirnya ku ikuti tes masuk kedua-duanya dan lulus semua.
Tambah bingung lagi. Namun setelah konsultasi dengan orang tua, mereka lebih
merestuiku meneruskan di pesantren mahasiswa. Dari situ ku memantapkan diri
melangkah ke Yogyakarta.
Dalam benakku, sudah dapat dibayangkan, karena kata orang mahasiswa itu
hidupnya ya seperti itu. Mahasiswa tapi santri, santri tapi mahasiswa. Lebih
“membahagiakan” dari pada di pesantren dulu.
Namun semua sketsa kehidupan yang ada di benakku mendadak hilang ketika
pertama kali menginjakkan kaki menjadi seorang thalabah di tempat itu. Berubah
menjadi ketakutan yang hebat. Bagaimana tidak, jika boleh digambarkan, segala
aspek yang ada di sana seakan mendukung kesan angker bagi setiap anak manusia:
Tempatnya ada di lereng gunung, dingin, hutan, sepi, seperti
padepokan-padepokan yang ada di film-film kolosal di Indosiar, hanya dengan
balutan gedung masa kini, tapi tetep saja angker.
Kemudian, segala peraturannya mirip dipenjara. Mau ini tidak boleh, mau itu
tidak boleh. Kalau ini harus begini kalau itu harus begitu. Luar biasa
ketatnya. Melanggar barang sedikit saja, habis. Namun itulah konsekuensi yang
harus dihadapi seorang thalabah ditempat itu. Sebuah sekolah kader masa depan
yang memang mengemban harapan besar dari banyak kalangan. Begitulah cerita
kakak kelas dahulu.
Tapi unik. Trasformasi ekstrim jilid duaku ini. Menjadi seorang thalabah
yang sedang disiapkan untuk satu tujuan besar. Menjadi seorang ulama. Hebat
bukan. Satu gelar yang ku rasa begitu berat mengingat sosok para ulama asli
dari zaman dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, banyak teman yang tidak
sanggup melanjtkan studi di sana dan pergi untuk selamanya.
Terlebih lagi, cara penyampaian peraturan yang langsung, lugas dan tanpa reserfe
membuat kami merasa begitu berat menerimanya. Tak peduli dari latar
belakang manapun dengan alasan apapun, peraturan tetaplah peraturan yang wajib tanpa
terkecuali dilaksanakan dengan baik dan benar.
Namun bagi diriku, seluruh kehidupan yang serba ketat di sana tidak dapat
menggoyahkan tekat baja yang tertanam di hati. Berlandaskan niat ilahi dan
dikuatkan dengan janji kepada orang tua itu sudah lebih dari cukup untuk
membuat ku bertahan. Dalam benakku, tinggal jalani saja semua peraturan disini,
lagi pula ga bakal bikin mati dan memang itu semua dibuat untuk kebaikan semua
thalabah demi mencapai tujuan nyantri disini, ya jadi ulama.
Itu salah satu hal yang membuatku dapat bertahan di tempat itu, disamping
beberapa faktor lain seperti dukungan dari teman-teman senasib sepenaggungan.
Ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Juga faktor lain dari pesantren itu
sendiri. Beberapa hari pertama ketika aku hidup di sana banyak kisah-kisah yang
diceritakan turun-temurun yang memotifasi kita agar tetap bertahan. Kemudian wejangan-wejangan dari para kiai di
sana juga menghujam dalam kelubuk hati, sejenak dapat meringankan beban yang
ada dipundak.
Kemudian, tanpa terasa waktu berjalan dan aku sudah terbiasa dengan segala
dinamika yang terjadi di tempat itu, layaknya santri senior, jadi thalabah
senior pun rasanya tak jauh berbeda, segalanya terasa lebih ringan dibandingkan
pertama kali dahulu, persis seperti wejangan-wejangan yang disampaikan oleh
para kiai di sana, bahwa segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan
menjadi lebih ringan untuk dikerjakan.
Demikian sekelumit kisah hidupku, semoga bermanfaat, dan adakah yang
bersedia mengalaminya? Lets follow me, come here and join with us. J
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar