Jumat, 19 April 2013

TRANSFORMASI EKSTRIM SEORANG SANTRI MENJADI THALABAH


Dua istilah, santri dan thalabah pada dasarnya merupakan dua lafal yang memiliki kemiripan makna: seorang anak yang belajar agama di pesantren di Indonesia. Kurang lebih demikian. Namun bagi penulis, dua lafal tersebut memiliki perbedaan dilihat dari sisi penerapannya. Santri adalah istilah bagi murid yang belajar di pesantren tingkat madrasah, sedangkan thalabah setingkat dengan mahasiswa. Itu menurut pengalaman penulis. Namun lebih dari sekedar pembahasan istilah, dalam tulisan ini penulis akan mengisahkan transformasi dirinya dari seorang santri menjadi seorang thalabah beserta seluruh dinamikanya, tujuannya sederhana, untuk kaca diri dan juga berbagi pengalaman kepada orang lain. Semoga bermanfaat.
Dimulai dari hari ahad
Tak pernah terbayangkan dalam benakku (penulis) ketika duduk dibangku sekolah dasar negeri untuk berangkat sekolah di hari minggu. Harinya anak-anak bermain dan nongkrong di depan TV dari pagi sampai siang. Tapi itulah awal mula transformasi ekstrim dalam hidupku. Berawal dari keterpaksaan, namun berakhir dengan penyesalan. Menyesal mengapa tidak dari tingkat dasar saja bapak nyekolahin aku di pesantren. Karena belakangan aku menyadari, ilmu yang didapatkan disana jauh lebih bermakna dibandingkan sekolahku dahulu.
Nyantri di pesantren tidak membuat aku jauh dari orang tua karena dipesantren aku ada istilah mondok dan jolok. Apa itu? Mondok bagi teman-teman yang bersedia 24 jam nongkrong di pesantren. Jolok bagi teman-teman yang hanya pagi sampai siang saja nyantri, sore sampai paginya lagi tetep jadi “anak mamih”, makannya aku sebut diriku santri setengah mateng. Singkat cerita, 6 tahun nyantri, aku dapat ilmunya namun kehidupanku masih seperti biasa.
Tetep berangkat ahad tapi pindah lokasi
Masuk ke jenjang mahasiswa, aku bimbang, ada dua opsi yang aku pilih waktu itu, mau ambil jurusan komputer yang artinya lepas dari dunia pesantren, atau lanjut belajar agama. Akhirnya ku ikuti tes masuk kedua-duanya dan lulus semua. Tambah bingung lagi. Namun setelah konsultasi dengan orang tua, mereka lebih merestuiku meneruskan di pesantren mahasiswa. Dari situ ku memantapkan diri melangkah ke Yogyakarta.
Dalam benakku, sudah dapat dibayangkan, karena kata orang mahasiswa itu hidupnya ya seperti itu. Mahasiswa tapi santri, santri tapi mahasiswa. Lebih “membahagiakan” dari pada di pesantren dulu.
Namun semua sketsa kehidupan yang ada di benakku mendadak hilang ketika pertama kali menginjakkan kaki menjadi seorang thalabah di tempat itu. Berubah menjadi ketakutan yang hebat. Bagaimana tidak, jika boleh digambarkan, segala aspek yang ada di sana seakan mendukung kesan angker bagi setiap anak manusia: Tempatnya ada di lereng gunung, dingin, hutan, sepi, seperti padepokan-padepokan yang ada di film-film kolosal di Indosiar, hanya dengan balutan gedung masa kini, tapi tetep saja angker.
Kemudian, segala peraturannya mirip dipenjara. Mau ini tidak boleh, mau itu tidak boleh. Kalau ini harus begini kalau itu harus begitu. Luar biasa ketatnya. Melanggar barang sedikit saja, habis. Namun itulah konsekuensi yang harus dihadapi seorang thalabah ditempat itu. Sebuah sekolah kader masa depan yang memang mengemban harapan besar dari banyak kalangan. Begitulah cerita kakak kelas dahulu.
Tapi unik. Trasformasi ekstrim jilid duaku ini. Menjadi seorang thalabah yang sedang disiapkan untuk satu tujuan besar. Menjadi seorang ulama. Hebat bukan. Satu gelar yang ku rasa begitu berat mengingat sosok para ulama asli dari zaman dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, banyak teman yang tidak sanggup melanjtkan studi di sana dan pergi untuk selamanya.
Terlebih lagi, cara penyampaian peraturan yang langsung, lugas dan tanpa reserfe membuat kami merasa begitu berat menerimanya. Tak peduli dari latar belakang manapun dengan alasan apapun, peraturan tetaplah peraturan yang wajib tanpa terkecuali dilaksanakan dengan baik dan benar.
Namun bagi diriku, seluruh kehidupan yang serba ketat di sana tidak dapat menggoyahkan tekat baja yang tertanam di hati. Berlandaskan niat ilahi dan dikuatkan dengan janji kepada orang tua itu sudah lebih dari cukup untuk membuat ku bertahan. Dalam benakku, tinggal jalani saja semua peraturan disini, lagi pula ga bakal bikin mati dan memang itu semua dibuat untuk kebaikan semua thalabah demi mencapai tujuan nyantri disini, ya jadi ulama.
Itu salah satu hal yang membuatku dapat bertahan di tempat itu, disamping beberapa faktor lain seperti dukungan dari teman-teman senasib sepenaggungan. Ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Juga faktor lain dari pesantren itu sendiri. Beberapa hari pertama ketika aku hidup di sana banyak kisah-kisah yang diceritakan turun-temurun yang memotifasi kita agar tetap bertahan.  Kemudian wejangan-wejangan dari para kiai di sana juga menghujam dalam kelubuk hati, sejenak dapat meringankan beban yang ada dipundak.
Kemudian, tanpa terasa waktu berjalan dan aku sudah terbiasa dengan segala dinamika yang terjadi di tempat itu, layaknya santri senior, jadi thalabah senior pun rasanya tak jauh berbeda, segalanya terasa lebih ringan dibandingkan pertama kali dahulu, persis seperti wejangan-wejangan yang disampaikan oleh para kiai di sana, bahwa segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan menjadi lebih ringan untuk dikerjakan.
Demikian sekelumit kisah hidupku, semoga bermanfaat, dan adakah yang bersedia mengalaminya? Lets follow me, come here and join with us. J
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar